Museum Sumpah Pemuda menyimpan sejarah perjuangan rakyat Indonesia.
Museum Sumpah Pemuda ternyata sudah pernah mengalami perjalanan panjang. Berbagai data telah merekam jejak transformasi unik yang terjadi pada bangunan tersebut. Sempat disewakan untuk rumah tinggal pelajar, tempat berkumpul, toko bunga, hingga akhirnya menjadi museum seperti sekarang ini.
Museum Sumpah Pemuda yang berisikan sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ini juga dikenal dengan sebutan "Gedung Keramat" sejak zaman dulu.
Menurut catatan, dulunya bangunan tersebut ditinggali oleh pemiliknya, yakni Sie Kong Tiang, sejak awal abad ke-20. Lalu pada tahun 1908, Gedung Keramat disewa para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia) dan Rechtsschool (RS) sebagai tempat tinggal sekaligus tempat mereka belajar, dan diberi nama Commensalen Huis. Banyak mahasiswa Indonesia yang tinggal di sini kala itu.
Seiring berjalannya waktu, mulai tahun 1927, gedung ini semakin ramai dengan kegiatan pergerakan yang dipelopori berbagai organisasi pemuda. Bung Karno dan tokoh-tokoh Algemeene Studie Club Bandung sering hadir di Gedung Kramat. Bersama para mahasiswa di sana, mereka membicarakan taktik untuk memukul mundur para penjajah.
Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) juga sempat menjadikan gedung ini sebagai kantor sekretariat, sekaligus kantor penerbitan majalah Indonesia Raja yang dikeluarkan PPPI. Karena sering menjadi ‘basecamp’ berbagai pertemuan organisasi, sejak saat itu nama Langen Siswo diubah menjadi Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan).
Pada 15 Agustus 1928, di gedung ini diputuskan akan diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua yang dilakukan pada Oktober 1928. Pesertanya berasal dari mahasiswa dan sejumlah organisasi pemuda terkemuka, antara lain "Jong Sumatranen Bond", Pemuda Indonesia, Sekar Rukun, "Jong Islamienten", "Jong Bataks Bond", "Jong Celebes", Pemuda Kaum Betawi dan PPPI.
Photo Source: http://www.tribunnews.com
Di gedung ini pula, mereka menghasilkan keputusan sumpah pemuda dalam kongres yang diketuai Soegondo Djojopuspito, ketua PPPI.
Setelah peristiwa Sumpah Pemuda banyak penghuninya yang meninggalkan gedung Indonesische Clubgebouw karena sudah lulus belajar. Mereka pun tidak meneruskan sewa, hingga kemudian gedung ini diambil alih oleh Pang Tjem Jam selama tahun 1934-1937 untuk dijadikan rumah tinggal.
Mulai tahun 1937-1951, gedung ini disewa oleh Loh Jing Tjoe untuk digunakan sebagai toko bunga (1937-1948). Sedangkan tahun 1948-1951 gedung ini tercatat berfungsi menjadi sebuah hotel bernama Hotel Hersia.
Pertama kali pasca kemerdekaan, gedung ini digunakan untuk kepentingan negara, yaitu sebagai kantor dan mes Inspektorat Bea dan Cukai yang disewa sejak tahun 1951-1970.
Akhirnya Gedung Keramat 106 ini dipugar oleh Pemda DKI Jakarta, mulai 3 April 1973 hingga 20 Mei 1973. Pemugaran dilakukan dalam rangka menjadikan gedung tersebut sebagai museum yang hingga kini diberi nama Museum Sumpah Pemuda.